Langsung ke konten utama

PROBLEMATIK KIP (KARTU INDONESIA PINTAR)

                                                      Oleh : DARMANINGTYAS

Program Kartu Indonesia Pintar (KIP) merupakan salah satu program unggulan Presiden Joko Widodo (Jokowi)  dalam bidang pendidikan yang dijanjikan pada saat kampanye pemilihan presiden (Pilpres) 2014 lalu. Program ini bertujuan untuk menghilangkan hambatan anak usia sekolah secara ekonomi untuk berpartisipasi di sekolah sehingga mereka memperoleh akses pelayanan pendidikan yang lebih baik dari tingkat dasar hingga menengah, mencegah murid mengalami putus sekolah akibat kesulitan ekonomi, serta mendorong anak yang putus sekolah agar kembali bersekolah.


Banyak pihak, terutama awam sering bertanya apa perbedaan BOS (Bantun Operasional Sekolah) dengan KIP tersebut mengingat sama-sama untuk pendidikan dasar dan menengah? BOS, sesuai namanya  merupakan bantuan yang diperuntukkan bagi kelancaran operasional sekolah. Bos ditujukan  kepada lembaga (sekolah) yang diberikan kepada semua

Program Indonesia Pintar melalui KIP merupakan pemberian bantuan tunai kepada seluruh anak usia sekolah (6-21) yang berasal dari dari keluarga miskin dan rentan (seperti misalnya dari keluarga/rumah tangga pemegang Kartu Keluarga Sejahtera/KKS) atau anak yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya.

Program ini merupakan penyempurnaan dari program Bantuan Siswa Miskin (BSM) yang diberikan sejak akhir 2014. Pesan inti yang ingin disampaikan melalui KIP ini adalah menghindarkan anak meninggalkan sekolah akibat tidak memiliki biaya untuk pergi dan pulang sekolah, sedangkan mereka yang sudah terlanjur meninggalkan sekolah dapat kembali ke sekolah lagi. Tidak ada alasan ekonomis lagi mereka tidak bersekolah. Sebab kebutuhan bayaran sekolah telah dicukupi dengan dana BOS, sedangkan kebutuhan dana personal dicukupi oleh KIP.

Besaran dana KIP itu adalah untuk SD/MI/Diniyah Formal Ula/SDTK, Pondok Pesantren, dan Kejar Paket A/PPS Wajar Pendidikan Dasar Ula sebesar Rp. 225.000,-. SMP/MTs/Diniyah Formal Wustha/SMPTK, Pondok Pesantren, Kerja Paket B/PPS Wajar Dikdas Wustha sebesar Rp. 375.000,-. Sedangkan Untuk tingkat SMA/SMK/MA/Diniyah Formal Ulya/Muadalah/SMTK/SMAK, Pondok Pesantren, dan Kejar Paket C/PMU Ulya/Lembaga Pelatihan/Kursus sebesar Rp. 500.000,-. Namun pada tahun 2017 ini jumlahnya telah naik, masing-masing menjadi Rp. 400.000,- untuk tingkat SD/MI, Rp. 500.000,- untuk tingkat SMP/MTs, dan Rp. 700.000,- untuk tingkat SMA/SMK/MA.

KIP itu dimaksudkan untuk mendukung penuntasan Program Wajib Belajar Sembilan Tahun, dan Pendidikan Menengah Universal (Wajib Belajar 12 Tahun). Pada tahun 2015 jumlah penerima KIP mencapai 20,37 juta terdiri dari murid di lingkungan Kemdikbud 17,92 juta, dan Kemenag 2,45 juta dengan total anggaran mencapai Rp.12,81 triliun. Pada tahun 2016 jumlah penerima KIP mencapai 19,54 juta terdiri dari anak dibawah Kemdikbud sebesar 17,92 juta dan anak di bawah Kemenag sebesar 1,62 juta dengan total anggaran Rp. 11,56 T. Besaran dana yang dilakokasikan untuk KIP ini hampir sama dengan dana bos.

Problem Data dan Penyaluran

Secara konseptual, Program Indonesia Pintar melalui KIP ini sebetulnya sudah cukup jelas, termasuk sasaran penerimanya. Namun pada tingkat implementasinya cukup problematik, baik menyangkut soal validitas data yang dipakai dasar untuk pemberian KIP, maupun metode penyalurannya itu sendiri.

Pertama, masalah data yang dipakai dasar untuk pemberian KIP itu adalah berasal dari Tim Nasional Percepatan Penanggulagan Kemiskinan (TNP2K), yang surveinya mungkin dilakukan tahun 2011 lalu, sehingga data yang tersaji juga sudah kadaluwarsa, profil murid maupun orang tua sudah banyak yang berubah.Tidak aneh bila kemudian terjadi, ada murid SMK yang sudah lulus justru mendapatkan KIP, sementara anak yang masih bersekolah dan harusnya berhak mendapatkan KIP justru tidak mendapatkannya. Kasus serupa tidak hanya terjadi di satu tempat saja, tapi terjadi di banyak tempat, karena sumber datanya memang lama.

Persoalan akurasi data itu pula yang menyebabkan penyaluran KIP pada masa Menteri Anies Baswedan lalu (sampai 27 Juli 2016) tersendat karena di satu sisi disadari data yang ada tidak akurat lagi, namun di sisi lain Kemdikbud juga tidak bisa leluasa menentukan metode lain, misalnya dengan menggunakan data pokok pendidikan (Dapodik) yang lebih akurat, karena itu berarti menyalahi prosedur. Namun sekarang, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mencoba mengkombinasikan antara data dari (TNP2K) dengan Dapodik, guna menghindari terjadinya salah prosedur di satu sisi, di sisi lain untuk menjamin akurasi data. Jika ada dalam data TNP2K, namun tidak ada dalam Dapodik, maka yang dipakai adalah Dapodik, karena Dapodik ini lebih akurat dan lebih riil mencerminkan kondisi di lapangan. Dengan memadukan dua data yang berbeda tersebut menjadikan penyaluran KIP lebih lancar, meskipun tidak mencapai 100%, namun sudah di atas 90%.

Persoalan kedua yang dihadapi oleh KIP ini adalah soal penyaluran dananya. Masalah metodologi penyaluran dana KIP itu bukan hal sederhana, mengingat nilai rupiah yang ada dalam KIP tidak boleh terpotong, di sisi lain bank tidak diberi upah untuk menyalurkan. Bank hanya diberi toleransi untuk menahan dana KIP selama satu bulan saja. Tapi tentu penahanan uang dalam kurun waktu satu bulan itu tidak bermakna apa-apa dibandingkan dengan alokasi sumber daya manusia yang harus disediakan oleh pihak perbankan guna penyaluran KIP. Padahal, kinerja direksi Bank BUMN dinilai berdasarkan keuntungan yang disetor ke negara. Akibatnya, bank pun kemudian memainkan dana penyaluran dana KIP itu dengan membayar terlambat, misalnya, awal Februari harunya sudah cair, tapi baru cair bulan April. Keterlambatan tiga bulan ini tentu amat menghambat bagi warga miskin, bahkan bisa menyebabkan mereka tidak bisa bersekolah karena alasan tidak memiliki biaya transportasi. Padahal, substansi program KIP ini adalah menanggulangi agar anak tidak meninggalkan sekolah lantaran ketiadaan biaya untuk transportasi dan uang saku.

Penyaluran melalui bank itu sendiri menimbulkan persoalan karena anak-anak usia SD-SMP belum diperkenalkan memiliki buku rekening sendiri, sehingga perlu ada pemahaman tersendiri dari pihak OJK (Otoritas Jasa Keuangan) bila rekening KIP tersebut atas nama anak-anak yang belum boleh memiliki rekening sendiri. Problem yang  dihadapi oleh kaum miskin adalah saat hubungan dengan bank itu perlu bantuan orang tua, tidak sedikit orang tua murid yang menyalahgunakan penggunaan dana KIP. Dana yang seharusnya untuk memperlancar sekolah anak, justru dibelanjakan orang tua untuk kebutuhan lain, termasuk untuk membeli rokok. Tapi bila dana tersebut ditransfer ke sekolah dan diterima tunai oleh murid, maka apa fungsi KIP? Bisa-bisa namanya berubah dari KIP menjadi bantuan tunai murid. Inilah problematik Program Indonesia Pintar melalui KIP yang tidak bisa dipecahkan oleh Kemdikbud saja, tapi juga Kementerian BUMN sebagai atasan dari Bank BUMN, dan dari Presiden sendiri mengenai substansi utama dari program KIP tersebut.

Persoalan metode penyaluran dapat dipecahkan secara mudah bila tidak ada ego sektoral, tapi semua merujuk dan tunduk pada perintah presiden. Jika semua sepaham bahwa Program Indonesia Pintar melalui KIP itu adalah janji Presiden Jokowi kepada pemilihnya, maka Menteri BUMN Rini Sumarno tinggal meminta Dirut BRI dan BNI (yang mendapat tugas menyalurkan KIP) untuk memperlancar penyaluran KIP agar tersalur tepat waktu, tidak sampai terlambat. Agar para direksi Bank BUMN memiliki  komitmen tinggi untuk memperlancar penyaluran KIP, maka prestasi mereka perlu diapresiasi oleh Menteri sebagai prestasi kerja direksi, meskipun itu sifatnya kerja sosial. Atau pola lain adalah penyaluran KIP dibiayai dengan dana CSR bank sehingga pihak bank dapat merekrut tenaga khusus untuk penyaluran KIP, tanpa mengganggu bisnis perbankan. Dengan membenahi model penyaluran ini diharapkan KIP dapat diterima tepat waktu tanpa mengganggu kinerja bank.


Darmaningtyas, Aktivis Pendidikan dari Tamansiswa Yogyakarta







Komentar

  1. Permisi pak darmaningtyas, boleh saya minta cp bapak yang bisa saya hubungi?

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIODATA DARMANINGTYAS

BIODATA DARMANINGTYAS, menggeluti pendidikan sejak mulai menjadi mahasiswa baru di UGM, Agustus 1982 dengan menjadi guru di SMP Binamuda dan SMA Muhammadiyah Panggang, Gunungkidul, DIY. Pendidikan formalnya cukup Sarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) dan selebihnya otodidak. Gelar “Profesor Doktor” diperoleh dari undangan, sertifikat, piagam, spanduk, dan sejenisnya; sebagai bentuk pengakuan nyata dari masyarakat.

Masyarakat Diajak Adaptasi

Pemerintah, melalui lembaga dan kementerian, mengeluarkan peraturan dan edaran perihal protokol atau pedoman kesehatan. Protokol itu berlaku di tempat masyarakat, industri, sektor jasa, dan perdagangan.

REFLEKSI DARI PELATIHAN GURU SASARAN DI LAMPUNG

Berikut saya sampaikan refleksi saya tatkala mendapat tugas untuk membuka dan kasih pengarahan pada pelatihan guru sasaran di Lampung tanggal 9 Juli lalu. Semoga refleksi in dapat menjadi bahaperbaikan proses pelatihan guru yang akan dating sehingga menjadi lebih baik.