Langsung ke konten utama

KERETA CEPAT, BUKAN KEBUTUHAN

Oleh: Darmaningtyas
Ketua  INSTRAN (LSM Transportasi) di Jakarta
Dimuat di Bisnis Indonesia, Senin 27 Juli 2015

Wacana tentang rencana pembangunan kereta api cepat (KA) Jakarta – Bandung kembali mengemuka. Wacana ini pernah muncul pada awal 2014, saat masih masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono (SBY).  Pada saat itu Kementrian Perhubungan (Kemenhub) menyatakan Indonesia sangat membutuhkan KA Super Cepat Jakarta – Surabaya untuk menghubungkan kedua kota tersebut. Rute Jakarta – Surabaya itu pula yang diusulkan oleh pihak Jepang. Namun menurut Wakil Menteri Perhubungan Bambang Susantono saat itu, pemerintah bisa mendesain kereta tersebut melewati Bandung. Pada saat itu, Dirjen Perkeretaapian Kemenhub, Hermanto Dwi Atmoko menyatakan bahwa studi kelayakan sudah dilakukan bekerjasama dengan Jepang.


Namun wacana tersebut kemudian tenggelam saat terjadi pergantian rezim, dan muncul kembali setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan kunjungan ke Tiongkok (26 Maret 2015 lalu). Dalam kunjungan tersebut Presiden Jokowi menyaksikan penandatangan delapan naskah kerjasama dan salah satunya adalah MoU antara Menteri BUMN dengan Komisi Nasional Pembangunan dan Reformasi RRT untuk Proyek Pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung.

Pada saat bertemu Presiden China Xi Jin Ping di Jakarta Convention Center pada acara peringatan KTT Non Blok yang ke-60 tahun (22/4 2015) Presiden Jokowi memperjelas komitmen China merealisasikan pembangunan kereta Super Cepat Jakarta – Bandung tersebut. Pertemuan itu kemudian ditindak-lanjuti dengan penanda-tanganan nota kesepahaman (MoU) antara Kementrian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan sejumlah perusahaan BUMN dengan BUMN China mengenai realisasi pelaksanaan pembangunannya. Dengan demikian, kesepakatan tersebut bukan G to G (Government to Government), melainkan B to B (Business to Business).

Hal menarik untuk dilihat dari wacana pembangunan Kereta Cepat tersebut adalah adanya Tarik menarik kepentingan antara Jepang dengan China. Bila kita merujuk pernyataan Wakil Menteri Perhubungan Bambang Susantono dan Dirjen Perkeretaapian Kemenhub, Hermanto Dwi Atmoko di atas, jelas sekali bahwa inisiator maupun negara yang ingin membangun KA Super Cepat itu adalah Jepang, sehingga Jepang pula yang membiayai studi kelayakan (feasibility study). Namun berdasarkan pemberitaan mengenai adanya penandatanganan naskah kerjasama antara BUMN kita dengan BUMN China, jelas bahwa China akan mewujudkan Kereta Super Cepat tersebut. Jepang yang berpengalaman mengoperasikan Shinkasen lebih dari 50 tahun tanpa pernah mengalami kecelakaan merasa layak untuk membangun Kereta Cepat di Indonesia. Demikian pula China merasa mampu mewujudkan Kereta Cepat di Indonesia, meskipun China punya pengalaman buruk Kereta Cepatnya mengalami kecelakaan pada 24 Juli 2014 dan menewaskan 32 orang penumpang di Provinsi Zhenjian. Kecelakaan tersebut terjadi di atas sebuah jembatan yang berada di Kota Wenzhou, saat Itu ada sebuah kereta yang sedang mogok akibat petir yang menyambar pusat tenaga listrik kereta tersebut. Adanya pertarungan kepentingan kedua negara tersebut menyadarkan pada kita, tentang siapa sesungguhnya yang berkepentingan membangun Kereta Cepat Jakarta - Bandung.

Bukan Kebutuhan Kita

Bagi penulis, persoalan utama adalah mengenai urgensi pembangunan Kereta Cepat itu. Apakah betul kita perlu Kereta Cepat? Penulis sependapat dengan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas, Andrinof A. Chaniago yang menyatakan bahwa Kereta Super Cepat (High Speed Railways) bukan prioritas dalam era Jokowi. Yang menjadi prioritas di era Jokowi adalah membangun infrastruktur di luar Jawa guna menciptakan pemerataan dan keadilan dalam pembangunan. Kebijakan Presiden Jokowi ini sudah tepat mengingat selama 70 tahun merdeka, ketimpangan antara Jawa dan luar Jawa itu justru semakin melebar.

Bila Presiden Jokowi menyaksikan penandatanganan kesepamahan antara BUMN Indonesia dengan China pada waktu melawat ke China, bukan berarti Jokowi sangat berambisi untuk segera mewujudkan Kereta Cepat tersebut; apalagi menurut Kepala BKPM Franky Sibarani, komitmen investasi China selama ini 1:10, artinya, dari 10 komitmen yang ada, hanya satu yang terealisasikan, sehingga bukan tanpa sadar Presiden Jokowi menyaksikan penandatanganan naskah kesepemahaman tersebut.

Persoalan ketimpangan infrastruktur transportasi antara Jawa dengan luar Jawa itu merupakan prioritas yang perlu dipecahkan segera dalam lima tahun mendatang demi keutuhan NKRI. Sangat tidak adil bila dana APBN sebesar Rp. 150 triliun hanya untuk membangun Kereta Cepat di Jawa dan hanya menghubungkan dua kota saja –padahal infrastruktur transportasi lainnya sudah berlimpah—sementara di luar Jawa mayoritas daerah mengalami defisit infrastruktur. Bahkan jalan penghubung antar kabupaten pun banyak yang belum diaspal. Sedangkan bila Kereta Cepat dibangun oleh swasta murni (termasuk BUMN), hal itu akan berdampak pada besaran tarif yang harus dibayar oleh penumpang. Bila tarif terlalu tinggi, Kereta Cepat tidak akan laku, dankemudian diserahkan kepada pemerintah untuk mengelolanya, dan akhirnya membebani APBN. Jadi meskipun dibangun oleh swasta murni, ujung-ujungnya tetap akan membebani APBN seumur hidup, terutama untuk operasionalnya.

Penulis berkeyakinan bahwa pembangunan Kereta Super Cepat Jakarta – Bandung maupun Jakarta – Surabaya itu tidak diperlukan baik sekarang maupun yang akan datang mengingat itu memang bukan kebutuhan kita, melainkan keinginan Jepang maupun China. Untuk koridor Jakarta – Bandung telah tersedia jalur KA sejak masa Pemerintahan Kolonial Belanda dan telah memiliki Tol Cipularang yang dapat menghubungkan Jakarta – Bandung antara 2-2,5 jam dengan tarif yang terjangkau. Meskipun Kereta Super Cepat akan membuat perjalanan Jakarta – Bandung dapat ditempuh dalam 37 menit, tapi dengan tarif yang tinggi, belum tentu akan menjadi pilihan warga.  Demikian pula Jakarta – Surabaya, selain telah tersedia jalur ganda KA, sebentar lagi akan terhubung dengan Tol Trans Jawa. Penerbangan Jakarta – Surabaya juga sudah bagus dan jauh lebih cepat daripada naik Kereta Cepat yang diperkirakan akan memakan waktu 2-2,5 jam. Bila Kereta Cepat tersebut dibangun oleh swasta, tentu tarifnya akan sama dengan tiket pesawat, sehingga orang akan tetap memilih naik pesawat terbang, akhirnya infrastruktur itu akan terbengkelai dan menjadi beban negara.

Hal yang tidak pernah disadari oleh para penggagas adalah soal kemacetan di dalam kota, baik di Jakarta, Bandung, maupun Surabaya yang menyebabkan perjalanan menjadi terhambat. Selama ini, Bandung - Jakarta dengan naik mobil atau KA; serta Surabaya – Jakarta dengan naik pesawat, jauh lebih cepat daripada perjalanan di dalam kota (Jakarta sendiri) karena macet. Dengan demikian, percuma saja perjalanan Bandung – Jakarta atau Surabaya – Jakarta super cepat, tapi perjalanan di dalam kota terhambat. Oleh karena itu lebih baik mengalokasikan dana yang besar untuk pembangunan angkutan umum massal di Jakarta atau memeratakan pembangunan infrastruktur agar tidak terkonsentrasi di Jakarta saja, sehingga penduduk pun menyebar ke daerah-daerah di luar Jawa akhirnya kemacetan di Jakarta terurai dengan sendirinya. Membangun Kereta Super Cepat Jakarta – Bandung maupun Jakarta – Surabaya justru menjadi undangan yang buruh terhadap warga-warga di daerah untuk tinggal di Jakarta dan sekitarnya yang memiliki infrastruktur transportasi sangat lengkap. Bila ini yang terjadi, maka kita mengulangi kegagalan pembangunan nasional. Presiden Jokowi jangan mengulangi kesalahan masa lalu!


Komentar

  1. Assalamu Alaikum wr-wb, perkenalkan nama saya ibu Rosnida zainab asal Kalimantan Timur, saya ingin mempublikasikan KISAH KESUKSESAN saya menjadi seorang PNS. saya ingin berbagi kesuksesan keseluruh pegawai honorer di instansi pemerintahan manapun, saya mengabdikan diri sebagai guru disebuah desa terpencil, dan disini daerah tempat saya mengajar hanya dialiri listrik tenaga surya, saya melakukan ini demi kepentingan anak murid saya yang ingin menggapai cita-cita, Sudah 9 tahun saya jadi tenaga honor belum diangkat jadi PNS Bahkan saya sudah 4 kali mengikuti ujian, dan membayar 70 jt namun hailnya nol uang pun tidak kembali, bahkan saya sempat putus asah, pada suatu hari sekolah tempat saya mengajar mendapat tamu istimewa dari salah seorang pejabat tinggi dari kantor BKN pusat karena saya sendiri mendapat penghargaan pengawai honorer teladan, disinilah awal perkenalan saya dengan beliau, dan secara kebetulan beliau menitipkan nomor hp pribadinya dan 3 bln kemudian saya pun coba menghubungi beliau dan beliau menyuruh saya mengirim berkas saya melalui email, Satu minggu kemudian saya sudah ada panggilan ke jakarta untuk ujian, alhamdulillah berkat bantuan beliau saya pun bisa lulus dan SK saya akhirnya bisa keluar,dan saya sangat berterimah kasih ke pada beliau dan sudah mau membantu saya, itu adalah kisah nyata dari saya, jika anda ingin seperti saya, anda bisa Hubungi Bpk Drs Tauhid SH Msi No Hp 0853-1144-2258. siapa tau beliau masih bisa membantu anda, Wassalamu Alaikum Wr Wr ..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIODATA DARMANINGTYAS

BIODATA DARMANINGTYAS, menggeluti pendidikan sejak mulai menjadi mahasiswa baru di UGM, Agustus 1982 dengan menjadi guru di SMP Binamuda dan SMA Muhammadiyah Panggang, Gunungkidul, DIY. Pendidikan formalnya cukup Sarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) dan selebihnya otodidak. Gelar “Profesor Doktor” diperoleh dari undangan, sertifikat, piagam, spanduk, dan sejenisnya; sebagai bentuk pengakuan nyata dari masyarakat.

Masyarakat Diajak Adaptasi

Pemerintah, melalui lembaga dan kementerian, mengeluarkan peraturan dan edaran perihal protokol atau pedoman kesehatan. Protokol itu berlaku di tempat masyarakat, industri, sektor jasa, dan perdagangan.

REFLEKSI DARI PELATIHAN GURU SASARAN DI LAMPUNG

Berikut saya sampaikan refleksi saya tatkala mendapat tugas untuk membuka dan kasih pengarahan pada pelatihan guru sasaran di Lampung tanggal 9 Juli lalu. Semoga refleksi in dapat menjadi bahaperbaikan proses pelatihan guru yang akan dating sehingga menjadi lebih baik.